Niat mulia para produser dan pembuat film ini patut diacungi dua jempol: ingin mengakrabkan kembali lagu anak-anak, ciptaan almarhum AT Mahmud khususnya, ke telinga anak-anak. Namun mungkin ada satu hal yang perlu direnungkan: lagu anak-anak tahun berapa?
Agak disayangkan, lagu-lagu AT Mahmud yang menjadi tulang punggung film ini beberapa ditampilkan secara tidak tepat. Menyanyi “Anak Gembala” tapi anak gembalanya sedang bermain sepak bola. “Mendaki Gunung” tapi para tokoh ceritanya sedang masuk hutan. Anak gembala menyanyi sambil bermain ukulele, tapi pemeran anak gembalanya tidak bisa memainkan ukulele. Hal yang seharusnya bisa dihindari dengan, mudah saja, menyesuaikan skenario dengan teks lagu; dan mengajari pemeran anak gembala memainkan ukulele.
Tembang-tembang AT Mahmud memang punya kualitas tak lekang waktu, tapi para pendengarnya yang termakan jaman. Sebelum menonton film ini, tentu sudah banyak anak Indonesia yang setidaknya pernah mendengar “Ambilkan Bulan” dan “Amelia”, tapi dalam kehidupan sehari-hari tak pernah menyanyikannya. Setelah menonton, apakah mereka, dan mungkin juga ayah-ibunya, akan lebih sering menyanyikan lagu-lagu tersebut? Rasanya bakal sama saja. Kemarin “Love is You”, bulan-bulan depan entah apa lagi. Lana Nitibaskara pemeran utama film ini dalam kehidupan nyatanya pun adalah seorang penyanyi… jazz.
Di jaman lagu kebangsaan saja sudah diperlakukan seperti INI, entah apakah mengakrabkan adalah suatu tujuan yang bisa dicapai. Mungkin sekadar mengingatkan bahwa di jaman dahulu kala, waktu ayah-ibu masih kecil (atau bahkan belum lahir), dan waktu Tasya Kamila masih kecil, anak-anak Indonesia pernah cukup akrab dengan lagu-lagu AT Mahmud.
My Rating: 5/10
Situs dengan tulisan-tulisan yang luar biasa ‘pretentious’ yang pernah saya baca. Novel anda juga termasuk. Bravo! Yuck.
Saya hanya menuliskan apa yg saya lihat dan saya rasakan. Mohon maaf bila tulisan saya tidak sesuai dgn pandangan anda. Mohon maaf juga bila kualitas novel saya masih jauh dari bagus. Terima kasih atas komennya.